Bekerja Keraslah Sampai Kampusmu mengundang dirimu Setelah Wisuda
Aku memasuki bangunan besar yang sangat familiar dan sudah sepuluh tahun lamanya tidak ku kunjungi. Tempat ini tidak banyak berubah, masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Aku masih hafal seluk-beluk tempat ini, sampai ke sudutnya sekalipun. Mungkin karena saat ini masih jam kuliah, tidak terlalu banyak mahasiswa yang bercengkerama di lobby. Ya, tempat ini adalah universitas di mana aku menuntut ilmu sepuluh tahun yang lalu.
Aku menekan tombol lift untuk menuju ke ruang auditorium. Sampai di sana, sudah ada beberapa orang berkerumun di depan ruangan. Kemudian aku dihampiri oleh salah satu mahasiswi yang memakai jaket BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan menyapaku dengan nada riang, “halo Mas Ricky, saya Lia. terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk datang.”
Aku pun diantar menuju ruangan tunggu yang berada di belakang ruang auditorium. Ruangan ini sudah jauh lebih rapi dibanding ketika zamanku dulu, ditambah beberapa hiasan estetik di sekitar ruangan. Selama menunggu, aku ditemani oleh Lia dan beberapa anggota BEM lainnya sambil mengobrol-ngobrol santai dengan mereka. Mereka adalah orang-orang muda yang bersemangat, energik dan ambisius. Betapa dulu aku tidak menyukai organisasi kampus yang menurutku hanya dipenuhi oleh orang-orang kelebihan semangat dan gemar membuang-buang waktu. Akan tetapi, kalau sekarang aku diberikan kesempatan untuk kembali ke masa kuliah, mungkin tidak ada salahnya mencoba terlibat di organisasi kampus seperti mereka, karena hal itu menyenangkan. Aku dapat melihatnya dari wajah para mahasiswa ini.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, acara seminar pun dimulai. Aku senang sekali ketika dihubungi untuk mengisi acara seminar ini sebagai pembicara. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengiyakan walaupun sebenarnya jadwalku sudah sangat padat karena sudah banyak yang mengundangku untuk menjadi pembicara. Meskipun aku sempat bingung, apa yang harus ku bicarakan?
“Seminar ini adalah seminar motivasi, Mas. Mahasiswa yang hadir sebagian besar adalah mahasiswa yang akan memulai seminar proposal dan skripsi. Mas Ricky cukup ceritakan pengalaman ketika jadi mahasiswa, khususnya ketika sedang menyusun skripsi.” kata Lia waktu itu.
Ketika tiba giliranku, aku naik ke atas panggung sambil memegang mikrofon dengan erat diiringi tepuk tangan dari para mahasiswa yang hadir. “Wah, ini pertama kalinya saya naik ke atas panggung ini. Padahal dulu saya kuliah lama loh, hampir 6 tahun.” seluruh ruangan memberikan respon yang berbeda-beda setelahnya. Beberapa orang tertawa, beberapa orang terkejut keheranan. “Serius Kak Ricky, kuliahnya 6 tahun?” celetuk salah seorang mahasiswa yang duduk di deretan kursi depan.
“Iya, saya nyusun skripsi hampir dua tahun. Duh, banyak deh dramanya. Kalau dijadiin sinetron, bisa ratusan episode.” seluruh ruangan kini tertawa mendengar ucapan saya yang terdengar seperti kalimat hiperbola.
Kalau dijadikan sinetron ratusan episode, memang berlebihan. Akan tetapi, perjuanganku menyusun skripsi dan mengejar wisuda memang benar-benar penuh dengan drama. Sewaktu aku SMA, aku memiliki imajinasi yang sangat sederhana mengenai kehidupan. Lulus SMA, lulus kuliah tepat waktu, mendapatkan pekerjaan yang baik, lalu menjadi kaya raya. Siklus ideal tersebut yang ku harapkan sedari dulu.
Sudah pasti, bukan hidup namanya kalau mudah. Memasuki kelas 3 SMA, suatu hari Ibu berkata padaku, “Iky, kamu nggak usah kuliah.”
Aku mengernyitkan kening mendengar pernyataan Ibu yang tiba-tiba itu, “kenapa Bu?”
“Sudah jelas Ky, kita mana punya uang untuk bayar kuliahmu? Jangan pernah bermimpi untuk kuliah! Bisa lanjut SMA aja udah bagus.”
Kalimat tersebut rasanya begitu menohok, apalagi kalau yang berbicara adalah Ibu sendiri. Ibu berperilaku seperti itu tentu bukan tanpa alasan, ia hanya bersikap realistis dengan keadaan keluarga kami yang tergolong pas-pasan, bahkan kadang kekurangan. Ayah dan Ibu hanya mengandalkan warung kecil kami yang seringkali sepi pengunjung. Sementara aku adalah anak pertama dan dua orang adikku juga harus bersekolah. Wajar jika Ibu menganggap kuliah hanya buang-buang waktu, lebih baik dipakai untuk mencari uang.
Tidak ada yang bisa ku katakan untuk mendebat Ibu. Kenyatannya memang sesuai dengan yang Beliau ucapkan, kami tidak punya uang. Di tengah-tengah keheninganku, sekonyong-konyong Ayah datang dan berkata, “Ricky harus kuliah.”
Aku menatap Ayah yang berbicara dengan mantap, tanpa keraguan di matanya. Berbeda dengan Ibu, Ayah seringkali memuji impianku untuk berkuliah. Ia diam saja ketika Ibu sibuk berceloteh tentang betapa tidak bergunanya kuliah, namun setelah itu ia akan menghampiriku di kamar, membawakan pisang goreng untuk camilan sambil berkata, “belajar yang giat ya, Ky. Keren sekali impianmu itu.”
Ibu seketika naik pitam, “uang darimana? Memangnya uang bisa jatuh dari langit?!”
Aku merasa lemas di tengah perdebatan mereka. Tentu saja aku ingin kuliah, tapi aku juga sadar bahwa pandangan Ibu lebih realistis. Sampai akhirnya, perdebatan mereka selesai dengan Ibu yang berkata, “terserahlah. Aku tidak mau peduli.”
Malam harinya, Ayah mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Kami duduk di tepi ranjangku dalam diam selama sepersekian detik.
“Ayah, kalau memang Iky tidak bisa kuliah, nggak apa-apa kok.” kataku memulai pembicaraan.
“Bisa Ky, Ayah akan mengusahakannya. Kamu harus kuliah. Sekarang yang terpenting, kamu belajar dengan giat ya? Biar Ayah yang pikirkan biayanya.”
Melihat tatapan Ayah yang begitu tulus dan yakin malam itu, aku pun menganggukkan kepalaku. Aku tidak tau apa yang membuat dirinya sebegitu yakin, tapi ku rasa keyakinannya membuahkan hasil. Beberapa bulan kemudian, aku lulus SMA dan berhasil diterima di salah satu PTS kecil di kotaku.
Memasuki masa kuliah, perjuangan yang sebenarnya dimulai. Aku kuliah sambil bekerja paruh waktu sebagai guru les privat anak SD, untuk membantu meringankan beban Ayah dan Ibu. Uang yang ku dapat ku pakai untuk kebutuhanku sehari-hari, sehingga aku tak pernah meminta uang kepada mereka selain uang untuk biaya kuliah. Beberapa kali aku menunggak UKT, sehingga aku harus memohon pada pihak kampus untuk diberi keringanan. Tak ayal beberapa kali Ayah dan Ibu bertengkar karena uang, namun tidak ada yang bisa ku lakukan. Hariku semenjak kuliah terasa sangat sibuk, kuliah dari pagi dan bekerja sampai malam, dilanjutkan mengerjakan tugas sampai subuh. Aku sudah tak punya energi lagi untuk menengahi mereka.
Dipikir-pikir, aku hampir tak pernah meluangkan waktu untuk nongkrong-nongkrong dengan teman-temanku. Hari-hariku semacam rutinitas yang tak bisa dielakkan. Padahal, dulu aku selalu iri dengan para mahasiswa yang bisa kumpul di kafe beramai-ramai tanpa harus mengenakan seragam. Teman-temanku sampai menyerah mengajakku untuk pergi bersama mereka, saking seringnya aku menolak ajakan mereka.
Tahun demi tahun akhirnya berganti, dan tak terasa aku sudah memasuki persiapan skripsi. Di sinilah neraka dimulai. Sudah tak dapat dihitung berapa kali ajuan skripsiku dilempar dan ditertawakan oleh dosen pembimbingku, Pak Sarwoto. Menunggu ia membalas pesan lebih lama dibandingkan menunggu sang gebetan membalas cinta. Beberapa kali aku dibuatnya menunggu berjam-jam sampai seharian, tapi ujung-ujungnya ia tidak bisa ditemui.
Kalimatnya yang paling sering ia lontarkan padaku adalah, “skripsi kamu ini, kalau dibandingkan sama anak kelas 3 SD, lebih bagus tulisan anak kelas 3 SD.” Yah, kalau begitu mah, semua anak kelas 3 SD sudah bisa wisuda dan jadi sarjana.
“Kamu sial banget sih, Ky. Dosen pembimbingmu Pak Sarwoto, yang perfeksionis dan mulutnya lebih pedas daripada cabe rawit.” ujar temanku Bayu, ketika kami sedang mengerjakan Bab 3 di rumahnya.
“Iya sih, tapi biarlah. Ku anggap saja sekalian latihan mental.”
Sampai pada akhirnya, aku harus menunda jadwal sidang karena terhambat biaya. Loh, padahal aku baru saja membayar tagihan UKT minggu lalu. Sekarang tinggal sidang skripsi dan aku harus membayar lagi?
“Sudah ketentuan dari pihak kampus. Kalau kamu belum bayar biaya sidang, kamu nggak bisa ikut sidang di semester ini.” ujar petugas administrasi dengan dingin. Aku pun mencoba minta tolong kepada Pak Sarwoto, namun ia sama dinginnya. “Tidak ada yang bisa saya lakukan, saya hanya mengikuti peraturan kampus.”
Aku gelisah sepanjang hari, tak tega meminta uang lagi kepada Ayah. Minggu lalu ia baru saja terseok-seok membayar UKT, dengan perasaan lega karena membayangkan aku sudah di langkah terakhir untuk wisuda dan lulus. Bagaimana mungkin aku meminta uang lagi padanya?
“Ada apa, Ky? Kok kamu terlihat gelisah?” tanya Ayah.
Akhirnya mau tak mau aku menjelaskan mengenai biaya tambahan untuk sidang kepada Ayah. Ia berusaha untuk tetap tenang tapi aku bisa melihat berbagai emosi terekam di wajahnya, kecewa, cemas dan bingung.
“Ayah nggak tau bisa dapat uang darimana lagi, Ky.” kata Ayah sambil menghela nafas pelan. “Tapi Ayah akan usahakan. Kamu tenang saja, ya.”
Aku hampir menangis mendengar ucapannya. Ku telusuri kerut wajahnya yang semakin banyak, kulitnya yang semakin gelap. Sepertinya ia semakin kurus dan ringkih, tubuhnya bungkuk serta keriput di tangannya terlihat jelas. Astaga, sejak kapan Ayah menjadi setua ini? Aku sudah jarang berbicara dan meluangkan waktu bersama Ayah, karena sibuk dengan dunia kuliah. Menyadari ia sudah setua ini, rasanya seperti ada ratusan duri menancap di hatiku.
Beberapa minggu setelahnya, Ayah akhirnya membayar biaya untuk sidang skripsiku. Ia bilang, beberapa hari ini kebetulan ada banyak pesanan di warung kami. Aku lega dan bersyukur, meskipun tenggat waktunya sudah lewat. “Tidak apa-apa, Yah. Iky bisa ikut jadwal sidang berikutnya.” kataku menenangkan Ayah. Ayah tak bicara apapun, hanya tersenyum kecil.
Belum sempat aku diuji oleh dosen penguji, hidup sudah mengujiku duluan. Ayah meninggal satu bulan sebelum aku dijadwalkan untuk sidang. Aku masih ingat betul malam itu, aku pulang ke rumah dan mendapati Ibu duduk terpaku dengan wajah pucat pasi. Ia menatapku yang baru saja pulang dari kerja paruh waktu, bibirnya seperti ingin memaki, namun ia hanya menghela nafas panjang dan berkata dengan nada pelan, “Ayah sudah tiada.”
Tiga hari setelah kepergian Ayah, aku masih belum bisa mengeluarkan air mata. Kepergian Ayah terasa menyesakkan, tapi entah mengapa aku belum bisa menangis, belum bisa menerka apa yang sedang terjadi saat ini.
Suara ketukan di pintu kamar menyadarkanku dari lamunan. Ibu masuk ke kamar sambil membawa bungkusan plastik hitam di tangannya. “Ky, makan dulu. Kamu belum makan dari pagi.”
Aku membuka bungkusan plastik tersebut, terdapat pisang goreng di dalamnya. Ahh... Seketika aku teringat Ayah lagi. Ayah yang diam-diam membawakan pisang goreng kesukaanku setelah aku dimarahi Ibu, Ayah yang selalu memintaku untuk giat belajar, Ayah yang selalu berusaha untukku.
“Semenjak kamu kuliah, Ayah mengambil beberapa pekerjaan. Kita nggak bisa mengandalkan warung saja untuk membiayai kuliahmu. Ibu sudah bilang berkali-kali agar ia tidak memaksa, tapi ia ingin sekali kamu kuliah.” Ibu berkata sambil matanya berkaca-kaca. Matanya sembab, ia seperti tidak tidur berhari-hari.
Aku baru pertama kali mendengar hal tersebut. Aku tidak pernah tau Ayah punya pekerjaan serabutan lainnya. Membayangkan Ayah yang bekerja di sana sini setiap hari, rasanya dadaku sesak sekali.
“Ricky, kamu harus lulus... Kamu harus wisuda, kamu harus jadi sarjana.” kata Ibu sambil terbata-bata. “Biar Ayah tenang di sana.” Tanpa tedeng aling-aling, air mataku kini membanjiri kedua pelupuk mataku. Baru pertama kali Ibu memintaku untuk lulus kuliah dengan tulus. Aku menangis sejadinya-jadinya, seakan tak ada hari esok, rindu yang teramat sangat kepada satu-satunya sosok yang mendukungku dan kini sudah tiada.
Tiba di hari aku sidang akhir, aku akhirnya lulus sidang dan kemudian wisuda. Tidak tepat waktu seperti yang ku harapkan dulu. Tidak ada Ayah di foto wisudaku. Sebagian besar teman-temanku sudah lulus duluan dan bekerja, mereka tak punya waktu untuk mampir di hari wisudaku. Sejujurnya, aku bahkan tidak tau apa yang ku rasakan ketika melihat bayangan diriku memakai toga di depan cermin.
Kini, sepuluh tahun kemudian, tepuk tangan bergemuruh mengisi seluruh ruangan setelah aku selesai menyampaikan materi seminarku. Sesi terakhir dari seminar ini adalah sesi tanya jawab. Seorang mahasiswa berdiri dan mulai memberikan pertanyaan yang ia miliki setelah diberikan mikrofon. “Kak Ricky, setelah akhirnya Kakak berhasil lulus dan wisuda, apa menurut Kakak semua perjuangan Kak Ricky selama kuliah itu setimpal?”
“Terima kasih atas pertanyaannya.” aku tersenyum kecil. “Sejujurnya, saya juga pernah menanyakan hal ini terhadap diri saya sendiri ketika saya dinyatakan lulus sidang skripsi. Waktu itu saya belum bisa merasakan apa-apa, hanya senang sesaat saja ketika keluar dari ruang sidang. Saya pikir, ‘oh, mungkin nanti baru kerasa ketika wisuda.’. Selesai wisuda, saya bertanya pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya pada diri saya.
Akan tetapi, saya masih tidak tau apa yang saya rasakan ketika itu. Euforia wisuda berlangsung hanya beberapa jam, setelah itu rasanya kosong, saya pulang ke rumah dengan perasaan hampa. ‘Oh, jadi ini rasanya wisuda? Jadi cuma begini aja?’, kira-kira seperti itu. Jadi, saya belum tau apakah setimpal atau tidak.”
Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan jawabanku, “Sekarang, mendengar pertanyaan yang sama, akhirnya saya bisa menjawab, kalau semua perjuangan itu setimpal dengan hasilnya. Tidak ada perjuangan dan pengorbanan yang sia-sia. Meskipun nanti euforia kelulusan dan wisuda mungkin hanya terasa beberapa jam seperti yang barusan saya katakan, tetap saja rasanya menyenangkan loh. Perasaan menyenangkan ini baru bisa dirasakan kalau kita sudah selesai berjuang.
Oleh karena itu, saya berharap kalian tetap berjuang. Hasilnya pasti akan setimpal. Lagipula, hidup setelah kuliah lebih keras, loh. Kalau sebelum wisuda saja kalian sudah menyerah, gimana nanti kalian bisa bertahan setelah kuliah?”
Setelah seminar berakhir dan berbincang-bincang sebentar dengan para anggota BEM, aku pun pamit pulang. Ketika pintu lift terbuka, ku lihat sosok yang amat ku kenali, Pak Sarwoto. Beliau sangat mudah dikenali dengan gaya rambut yang tak pernah berubah, hanya saja ia sudah terlihat sedikit lebih tua.
“Hebat kamu sekarang, sudah jadi pembicara di mana-mana. Sudah lebih pintar dibandingkan anak kelas 3 SD.” kami berdua pun tertawa terbahak-bahak di dalam lift. “Ayahmu pasti bangga padamu, Ky.” katanya kemudian.
Iya, pasti. Aku tau ia selalu bangga terhadap apapun yang ku lakukan.
Berjalan melewati lobby kampus yang kini sudah dipenuhi oleh segerombolan mahasiswa yang semuanya sibuk dengan aktivitas masing-masing, aku tertegun. Samar-samar ku lihat sosok diriku sepuluh tahun yang lalu, memakai kaus polos dan celana jeans belel, berlari mengejar lift yang padat. Bolak-balik ruang administrasi untuk memohon keringanan biaya kuliah. Duduk di sofa hitam bersama teman-temanku dengan memangku laptop dan buku sebesar gaban.
Aku tersenyum lebar dan lanjut berjalan ke luar, meninggalkan bangunan tersebut. Aku berbicara dalam pikiranku sendiri, ‘ahh, aku rindu kuliah’. Sesuatu yang ku pikir tak akan pernah ku ucapkan.
Posting Komentar untuk "Bekerja Keraslah Sampai Kampusmu mengundang dirimu Setelah Wisuda"